Foto Arif Rahman Hakim, SH., MH, |
Jakarta, Bidikinfonews.com - Polemik tentang permenaker No. 2 tahun 2022 terus menghiasi jagad maya dalam beberapa hari terakhir. Banyak pihak menyoroti soal polemik yang menghebohkan tersebut, tak terlepas para praktisi hukum, diantaranya hotman paris yang menyoroti dari sisi abstraksi dan nalar logika hukum dalam penerapannya. Minggu, 20/2/22/2022.
Begitu juga Founder Kantor hukum ARH Law Office and Legal advocate, Arif Rahman Hakim, SH., MH, dalam wawancara dengannya, beliau menekan kan cara pandang dari sudut yang berbeda.
Baca Juga :Kasus Giri yang Viral dan Gunung Es Sengkarut Penegakan Aturan Ketenaga Kerjaan, Arif Rahman Hakim Angkat Bicara
Arif Rahman mengatakan, penerbitan Permenaker No. 02 tahun 2022 tidak bisa dilihat secara parsial, seolah berdiri sendiri dan tak saling terkait dengan regulasi ketenaga kerjaan yang lainnya, tapi harus dilihat dan di korelasikan dengan kondisi hari ini, di mana situasi pandemi belum menunjukkan tanda - tanda mereda, juga korelasi antara hukum ketenaga kerjaan yang semakin Fleksibel, Easy to Hire easy to fire.
Harus di ingat, kata Arif, dalam aturan ketenaga kerjaan yang baru (omnibus law) syarat PHK dengan alasan efisiensi di permudah, ketika sebuah regulasi mempermudah syarat - syarat yang berujung kompensasi PHK.
"Pemerintah seharusnya menjamin keterlindungan hukum, dan kepastian serta kemudahan bagi pekerja dalam mendapatkan jaminan sosial yang sebetulnya sudah dia bayar dengan potongan dari upahnya tiap bulan", ujar Arif Rahman Hakim, SH., MH.
pasang iklan Disini :
Arif menambahkan, JHT itu di iur oleh gaji pekerja, maka seharusnya sebagai regulasi yang melindungi masa depan pekerja, maka Permenaker No. 2 tahun 2022, harus dipermudah ketika si pekerja menghadapi PHK.
Arif Rahman Hakim, SH., MH, pria kelahiran Bima NTB yang dikenal dengan pengecara ahli dalam menangani kasus pertanahan ini menjelaskan, di akui atau tidak kondisi pandemi telah memukul kondisi banyak pekerja di berbagai sektor, alasan force majeur belakangan kerap di gunakan sebagai alasan PHK ,
Saya mengutip teori Muray Kaloh (2008), pada dasarnya kondisi force majeur tidak boleh ditetapkan dalam kurun waktu yang lama, mengingat sebab yang tidak terduga berdampak pada tidak terlaksananya perjanjian. "Artinya, jika sebab dan kondisi penyebab tidak terlaksananya perjanjian sudah dapat diketahui, maka hal tersebut bukanlah force majeur. Demikian juga kondisi force majeure berkepanjangan akan membuat ketidakpastian pelaksanaan perjanjian", tutur Arif.
Melanjutkan penjelasannya, pria bersahaja yang kerap di panggil abang ini menjelaskan kondisi status pandemi yang di kategorikan force majeur yang berkepanjangan menyebabkan PHK dengan alasan efisiensi akibat pandemi, atau alasann cash flow perusahaan yang melemah belakangan marak menjadi dalil soal PHK.
"Ada beberapa perusahaan yang tetap menjalankan pemberian kompensasi PHK sesuai aturan tapi tak sedikit (bahkan lebih banyak) yang membayar hak kompensasi PHK tidak sesuai dengan aturan yang berlaku", pungkas Arif Rahman Hakim, SH., MH.
Sejauh pemantauan ARH Law Office Advocate and Legal consultant yang mengabaikan pemberian kompensasi PHK sesuai aturan yang berlaku cenderung meningkat di masa pandemi ini. "Maka di saat ini lah kemudian pekerja/buruh yang menerima konsekwensi PHK sangat membutuh proteksi, dan kejelasan regulasi perlindungan dalam bentuk lain yaitu kemudahan pencairan JHT", jelas Arif Rahman Hakim, SH., MH.
Founder ARH Law Office ini kemudian mengutip pendapat guru besar hukum, prof Aloysius uwiyono, secara yuridis, Aloysius menilai kedudukan pengusaha dan buruh sama (equality before the law), tapi secara sosiologis kedudukan keduanya timpang.
Pengusaha posisinya kuat secara sosial dan ekonomi. "Hal ini menunjukan indikasi urgensi pentingnya peran pemerintah atau negara untuk membuat aturan hukum perburuhan agar bisa seimbang, maupun regulasi penunjangnya yang menyatakan keberpihakan pada hak pekerja", jelas Arif.
Dikatakannya, Kemnaker sebagai representasi pemerintah ketika membuat sebuah aturan/regulasi hukum yang akan berdampak pada banyak orang harus memiliki sense of justice dan bahkan sense of humanity, dan sense of crisis agar setiap kebijakan yang di buat adalah refleksi dari rasa keadilan semua pihak yang menjadi objek, dan memiliki kepastian hukum yang melindungi hak pekerja atau rakyat secara umum dari regulasi tersebut.(Tim).