Suara Toa Masjid dan Hewan Jadi Sorotan, Begini Penjelasan Arif Rahman Hakim

Kategori Berita


.

Suara Toa Masjid dan Hewan Jadi Sorotan, Begini Penjelasan Arif Rahman Hakim

28 Feb 2022
Foto Arif Rahman Hakim, SH., MH, 


Jakarta. Bidikinfonews.com - Belum tuntas polemik soal beleid JHT pekerja, publik di jagad sosial media kembali di sambut polemik soal polemik Toa mesjid, kondisi masyarakat sudah lelah dengan kondisi berat pandemi yang belum terlihat ujung pangkal mereda, kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok dan tensi yang makin dinamis kalau tidak boleh dibilang makin memanas menjelang pilpres 2024, serasa makin sumpek memenuhi ruang publik, di tambah kisruh dengan sosialisasi kebijakan yang sering memicu kontroversi. Hal ini tak pelak menggugah praktisi hukum Arif Rahman Hakim, SH., MH, memberikan tanggapannya.


Seperti saat di hubungi oleh awak media soal pendapatnya tentang polemik Toa mesjid, pria putra Bima Nusa Tenggara Barat ini, menyampaikan bahwa melihat isu-isu sensitif belakangan ini membutuh kan nalar yang bijak dalam menyikapinya, soal Toa mesjid ini kan harus dilihat dari beberapa perspektif :


Baca Juga :Tidak Lolos Berkas Cakep, Tapi Diangkat Jadi Kepsek, Beberapa Guru Kecewa dan Tuding Itu Permainan Mereka 


1. Pandangan syar'i soal Fiqh masjid yang di contohkan baginda Rasulullah S.A.W soal adab dan etika memakmurkan Mesjid.


2. Kemaslahatan pembuat regulasi yang menyangkut hajat dan kebutuhan masyarakat beragama.


3. Pertimbangan historis, kultural dan penyampaian komunikasi kebijakan publik dari pejabat publik di pemerintahan idealnya bagaimana.


"Tanpa pendekatan 3 hal tersebut diatas pastinya setiap kebijakan apapun akan selalu menuai kontroversi yang berkepanjangan", ujar Arif Rahman Hakim.


pasang iklan Disini :


Dikatakan Arif, dibutuhkan sikap proporsional dalam menyikapi sebuah isu atau kebijakan.


Soal aturan/kebijakan soal toa mesjid ini bukan hanya di indonesia, bahkan berapa belahan  dunia, yang mayoritas muslim sudah membahas ini, diantaranya :


1. Februari 2017 silam, pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) menertibkan pengeras suara masjid di ibukota Dubai melalui instruksi Departemen Urusan dan Kegiatan Amal Islam UEA (IACAD). Pemerintah mempersilahkan warganya untuk melaporkan masjid yang membunyikan pengeras suara di luar batas kewajaran.


2. Aturan serupa berlaku pula di Bahrain yang jaraknya delapan jam dari Dubai via jalan darat. Pada November 2017, pemerintah mendorong pihak - pihak yang merasa dirugikan agar mengadukan masjid yang mengumandangkan azan dengan speaker menggelegar.


3. Di Mesir, Menteri Wakaf Mohamed Gomaa melarang penggunaan pengeras suara masjid untuk menyiarkan salat tarawih dan ceramah agama selama bulan suci Ramadan 2017 lalu, sebagaimana diberitakan oleh Egyptian Streets.


4. Dilansir dari Arab News, sebagai negeri tempat kiblat umat muslim sedunia, Arab Saudi punya aturan ketat yang hanya mengizinkan pengeras suara dipakai untuk keperluan azan, salat jumat, salat Ied, dan salat minta hujan.


5. Dilansir dari New Strait Times, penguasa Selangor, Sultan Sharafuddin Idris Shah, pada Oktober 2017 resmi melarang penggunaan pengeras suara masjid kecuali untuk untuk azan dan pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Sementara untuk khotbah dan ceramah-ceramah lainnya, pengeras suara hanya boleh digunakan di dalam batas lingkungan masjid dan surau.


"fakta infografis di atas sama sekali bukan mengharamkan syiar, doa atau ritual agamanya, tapi transmisi suaranya melalui speaker dan TOA idealnya di upayakan tidak mengganggu orang yang lainnya", terang Arif Rahman Hakim, SH., MH, putra kelahiran desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.


Dikatakan Arif, Bagaimana di Indonesia, dan mengapa di Indonesia menjadi polemik?.


Pimpinan ARH Law Office tersebut melanjutkan penjelasan, beleid aturan soal pengaturan soal Toa Mesjid ini secara historis sejak di keluarkannya mengatur tentang aturan dasar penggunaan pengeras suara masjid sudah diatur dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978,  yang kemudian  tahun 2018 yang  lalu di-tindak-lanjuti pelaksanaannya melalui SE (Surat Edaran) Dirjen Bimas Islam B.3940/DJ.III/HK.00.7/08/2018.


"Kemudian, baru - baru ini Menteri Agama menerbitkan SE (Surat edaran) Menag 05/2022 yang kurang lebih mengatur hal yang sama", Pungkasnya. 


lanjut Arif, Aturan ini mengatur himbauan men-dasar aturan soal penggunaan toa mesjid bukan pelarangan/pembatasan ritual keagamaannya.


Pertanyaanya kenapa isi beleid - beleid diatas kemudian memicu polemik dan kegaduhan di dunia maya dan ruang publik?.


"Ini yang harus di sikapi secara bijaksana oleh masyarakat dan dalam hal ini secara spesifik umat islam, sekaligus jadi harus menjadi  bahan koreksi, evaluasi, introspeksi dan retrospeksi bagi pejabat publik dalam menyampaikan isu sebuah kebijakan", lanjut pria bersahaja ini. 


Masih Arif, Sebab statement pejabat publik dalam penyampaian sebuah kebijakan ini jika tergesa-gesa akan menimbulkan polemik dan polarisasi dan menaikkan tensi politisasi kebijakan yang kemungkinan menyulut konflik horizontal sesama rakyat atau vertikal perlawanan pada pemerintah, bagaimanapun bangsa ini sedang memulihkan diri dari pandemi dan situasi ekonomi yang dirasa semakin berat, harusnya  pejabat publik memahami, situasi dan kondisi rakyat, tegasnya.


"Komunikasi kebijakan publik yang baik dari aparatur pemerintahan kepada rakyat adalah kuncinya", tutur Arif Rahman Hakim, SH., MH.


Bebarapa waktu belakangan ini setiap kebijakan publik yang di sosialisasikan kok cenderung menjadi polemik, dalam sesi ini Bang Arif beliau terbiasa di sapa melanjutkan penjelasannya. "Idealnya komunikasi pejabat publik dalam sebuah pemerintahan itu harusnya mengacu pada pandangan Socrates, etika komunikasi pejabat publik itu harus memikirkan ethos, pathos, dan logos. Dalam mengatakan sesuatu terkait kebijakannya", jelas Arif Rahman Hakim, SH., MH.


Saat ini, kata Arif, konsep ethos, pathos dan logos sebagai “elemen pengaruh” malah semakin populer dikalangan para pakar kepemimpinan dan komunikasi di negara negara Barat. "Pesan inti dari konsep tersebut adalah bahwa dalam berkomunikasi dengan bawahan atau anggota tim kerjanya, seorang pemimpin yang cakap akan mengandalkan diri pada elemen-elemen ethos, pathos, dan logos, " pungkas Arif Rahman Hakim. 


Mereka akan menghindari dua gaya kepemimpinan dibawah ini;


1. Gaya kepemimpinan transaksional

2. Gaya kepemimpinan otoriter


"Pejabat publik harus matching benar antara apa yang dia katakan dengan karakter ketika dia mengungkapkannya itu. Hal ini akan akhirnya akan sangat  tercermin bahkan dari pilihan diksi kalimat yang dia pilih, apakah akan menghindari kalimat yang akan menyinggung perasaan banyak kalangan, bahwa masyarakat kita itu pluralis, banyak kalangan dan golongan", ujarnya.


Arif menambahkan, motivasi untuk mendapatkan pujian atau motivasi melakukan dramaturgi yang terlalu besar, harus di hindari ini membuat pejabat-pejabat publik lupa untuk menimbang secara seksama, apa pesan yang kira - kira ditanggapi publik dan bagaimana reaksi publik atas pesan yang disampaikan itu. Jadi keinginan untuk mendapatkan kesan positif yang berlebihan, itu malah menjadi blunder.


Coba perhatikan ketika misalnya saat wacana omnibus law di bahas, di diskusikan, dirumuskan atau saat regulasi JHT di lemparkan ke masyarakat baru-baru ini. "Setiap kebijakan terkait beleid/kebijakan di gelontorkan pasti timbul polemik", ujar Founder ARH Law Office ini.


Padahal, dijelaskan Arif, kalo kita balik ke akar kata beleid menurut KBBI adalah bele.id [bld . n] adalah cara (langkah) yang di tempuh untuk melaksanakan program dsb, jadi dari makna akar katanya saja sudah jelas ya dalam merumuskan sebuah kebijakan, aturan, yang isunya akan menyentuh banyak kalangan harus juga memuat unsur sense of crisis, sense of justice dalam penyampaiannya kepada publik.


"Pelibatan semua unsur terkait dalam perumusan dan sosialisasinya yang tak kalah penting sejak dalam penyusunannya, pembahasan, pengesahan dan mendeliver sebuah kebijakan ke ranah publik harus melibatkan pihak - pihak (stake holder terkait) konteks dalam kebijakan soal Toa mesjid ini karena dia isu sensitif maka harus pelibatan para ahli - ahli dan pakar sehingga tidak menjadi blunder ketika hasilnya di komunikasikan ke publik, kalo dalam filosofi kami orang hukum itu begini : Moneat lex, priusquam feriat - undang-undang harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum digunakan", pungkas Arif Rahman Hakim, SH., MH.


Dijelaskannya, SOP komunikasi politik yang baik itu penting agar jangan setiap kebijakan yang di sosialisasikan, tidak menjadi polarisasi/pembelahan opini di kalangan masyarakat, agar juga jangan terjadi misleading seolah aturan dibuat  sebagai alat menindas antara mayoritas dan minoritas, ini yang terjadi saat ini dan ini yang membahayakan persatuan bangsa kedepan.


"Alih - alih niat hati menjaga keragaman malah membunuh prinsip harmonisasi pemikiran yang beragam di masyarakat kita. Dan menjadi otoriter dan pemaksaan kehendak", tuturnya.


Arif Rahman Hakim SH., MH, mengajak semua pihak dari unsur pemerintahan agar lebih memperhatikan betul pola komunikasi yang baik dalam penyampaian sebuah isu kebijakan agar tidak terkesan reaktif dan provokatif saat mengkomunikasikan nya ke ruang  publik.


"Masyarakat saat ini sudah cukup di repotkan dengan permasalahan kehidupannya apalagi di tengah pandemi ini", terangnya.


Lanjut Arif, jangan menambah beban mereka dengan statement yang menyakitkan hati yang harusnya tidak keluar dari mulut seorang pejabat publik .


Dikatakannya, ketika menganalogikan, mengkorelasikan,  dengan maksud membuat tamsil/perumpamaan agar mudah di pahami publik,  malah terkesan membandingkan panggilan langit sebagai syiar dengan gonggongan anjing, dan suara truk its not an apple to apple compliment, malah memicu permasalahan pelik, membuat gaduh ruang publik dan statement - statement rancu dan gaduh ini mirisnya, makin sering di dengar dari pejabat publik yang lain untuk kebijakan strategis lainnya sehingga memicu kegaduhan dan polemik masyarakat kita.


"Maka, bangunlah komunikasi yang baik dengan publik, kalau perlu bikin SOP tata laksana komunikasi politik yang baik", harap Arif Rahman Hakim, SH., MH. (tim).